Konsep perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam Hukum Perdata. Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji yang telah ditentukan, maka berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan “orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji”.
Merujuk pada Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”), telah mengatur yakni “Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang”.
Hal serupa dinyatakan dalam Putusan No. 598 K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa:”Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan utang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban. Oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum”.
Namun adakala tidak terpenuhinya perjanjian berujung pada pemidanaan. Namun prinsipnya bukan ketidakmampuan memenuhi perjanjian yang menyebabkan pemidaan tersebut. Ada hal-hal yang menyebabkan pemidanaan tersebut, yaitu:
- Jika merujuk pada putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan bahwa: “alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan kasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utang piutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikat buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan”.
- Putusan lain yang menyatakan hal serupa adalah Putusan No. 366 K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas bahwa: “perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuan” dan Putusan No. 211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong) yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesar Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi Selatan. Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikad tidak baik kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materiil Terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan)”.
Pada kasus ini, Terdakwa menyatakan akan mendapatkan proyek besar hingga si korban memberikan pinjaman uang 2M. Dan kemudian atas pinjaman tersebut, Terdakwa memberikan Bilyet Giro yang kosong kepada korban.
Pada intinya Yurisprudensi di atas menjelaskan, suatu wanprestasi termasuk sebagai penipuan atau masalah keperdataan harus dilihat apakah perjanjian tersebut didasari atas itikad buruk/tidak baik/ perbuatan pidana atau tidak. Jika tidak ada unsur pidana dalam perjanjiannya, maka seseorang tidak dapat dipidana karena tidak memenuhi perjanjian.
Leave A Comment